MAFIA KONSTITUSI, KEMBALI BERAMBISI

Post a Comment

ATAPATAP.COM - Jika dalam kasus minyak goreng pemerintah berani menyimpulkan ada mafia yang mengambil keuntungan pribadi. Kok dalam isu penundaan pemilu atau pun presiden tiga periode, pemerintah masih adem ayem saja?

Isu presiden tiga periode sebenarnya sudah muncul sejak era SBY. Namun, di era Jokowi ini kembali dilontarkan oleh seorang pimpinan lembaga survei yang secara terang-terangan mengusulkan Jokowi tiga periode berpasangan dengan Prabowo. Mengusung dengan konsep JOKPRO untuk 2024. Dia mengklaim wacana ini bakal didukung oleh masyarakat. Pasalnya dia mengungkapkan bahwa ada riset yang dilakukan SMRC yang menyatakan bahwa 66 persen pendukung PDI-P setuju Jokowi kembali maju diperiode ketiga. Sejalan isu ini bergulir, tentu ada pro kontra yang terjadi. Jokowi sendiri sebagai orang yang dikambing hitamkan, diawal menegaskan bahwa beliau tidak setuju dengan usul masa jabatan presiden diperpanjang menjadi tiga periode. Beliau pun merasa curiga wacana tersebut justru malah ingin menjerumuskannya.

“Kalau ada yang mengusulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” kata Pak Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12/19).

Sampai pernyataan diatas dilontarkan oleh Pak Jokowi, saya masih termasuk orang yang yakin—bahwa tidak mungkin Pak Jokowi akan melakukan hal tersebut. Namun, paska pernyataan presiden tersebut keluar—alih-alih membuat isu tersebut lenyap, rupanya justru ada anak buah Jokowi yang secara terang-terangan menggulirkan wacana baru. Yakni mengungkapkan keinginannya untuk dilakukan penundaan pemilu 2024. Tentu ini menjadikan api baru dalam isu ini. Sebagai pembantu presiden, bukannya ikut menghilangkan asap lama yang bergulir, malah semakin memperbesar api yang ada. Maka tidak heran—jika banyak ahli-ahli atau pun masyarakat yang menganggap bahwa bola liar tersebut berasal dari istana. Terlebih dengan adanya pernyataan dari beberapa petinggi partai—yang notabennya partai pendukung pemerintah, yang mengungkapkan bahwa mereka menginginkan pemilu 2024 diundur 2-3 tahun. Tentu dengan alasan-alasan yang menurutnya bisa dibenarkan. Hmm...

Jika dilihat dari alasan yang diutarakan oleh petinggi-petinggi partai tersebut, kok rasanya tidak make sense dengan program-program yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Misal,menggunakan alasan masih tingginya covid—tapi Pilkada 2020 masih juga tuh dipaksakan. Kemudian misal karena alasan tidak adanya dana pemilu—tapi pembangunan IKN dikerjakan kebut-kebutan dan terkesan dipaksakan juga. Tentu wajar jika para ahli berpendapat bahwa alasan-alasan tersebut terlalu mengada-ngada tanpa alasan yang jelas, kecuali secara tersirat itu hanyalah taktik untuk melanggengkan kekuasaan. Apakah Jokowi akan tetap pada pendirian awal? Eeee, maybe. Sebab statement Pak Jokowi setelah ini pun tidak setegas sebagaimana di awal.

Dilansir dari Kompas.id edisi Sabtu (5/3/2022), “Kita bukan hanya taat dan tunduk, tapi juga patuh terhadap konstitusi,” kata Pak Jokowi di Istana Bogor, Jum’at (4/3/2022)

“Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri, atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi kalau sudah dalam pelaksanaan semua harus tunduk dan taat pada konstitusi,” tuturnya.

Pernyataan yang semakin mengambang. Bagaimana sih sebenarnya kemauan Jokowi? Kok enggak setegas diawal. Memang sih, PDI-P sebagai partai asal Jokowi menolak wacana tersebut dan wacana tersebut baru bisa terwujud jika memenuh 2/3 suara dari anggota MPR yang ada—tapi yang namanya politik ya kan. Yang dulu lawan aja, sekarang bisa sekawan (dua-duanya lagi). Terlebih parlemen hari ini sebagian besar dikelilingi oleh partai koalisi pemerintah. Hmmm....

Sampai di sini sebenarnya kasihan sama Pak Jokowi. Saya pribadi berharap jangan sampai beliau mempunyai nasib yang sama seperti Pak Harto kala itu tahun 1998. Bagaimana dulu seorang tokoh bernama Pak Harmoko sebagai ketua partai terbesar saat itu, yang selalu membawa narasi dan selalu mengklaim keberhasilan pembangunan, dan juga pihaknya mengklaim dengan yakin telah mensurvey kehendak rakyat—bahwasanya rakyat menginginkan Pak Harto untuk jadi presiden periode 1998-2003 (padahal klaim tersebut hanyalah menurut dia dan Partainya sendiri). Dan benarlah saat itu disepakati kurang lebih 1000 anggota MPR/DPR secara aklamasi mendukung Pak Harto menjadi presiden kala itu . Namun siapa sangka juga, belum genap 100 hari Pak Harto menjabat, terjadi demo mahasiswa besar-besaran di depan gedung DPR/MPR, justru Pak Harmoko pulalah yang berbicara di depan umum—mendesak Pak Harto mundur. Narasi-narasi yang dibawa oleh Pak Harmoko dan selalu mengklaim bahwa itu adalah sebuah kebenaran, kan sama pula dengan narasi-narasi yang dibawa oleh petinggi-petinggi partai saat ini demi suksesnya penundaan pemilu 2024. Kala itu malah Si Pengusungnya pula yang mendesak Si yang Diusung untuk mundur. Ya meskipun idealnya kala itu harusnya Pak Harto jangan menjadi presiden. Semoga Pak Jokowi mempelajari kembali sejarah penting yang pernah terjadi itu.

Namun, yang lebih penting dari itu, Jikalau Pak Jokowi menganggap wacana penundaan pemilu 2024 yang digaungkan oleh para mafia konstitusi tersebut adalah sesuatu yang demokratis, maka ada yang lebih demokratis lagi dan lebih terhormat—yakni bagaimana kita menjaga semangat reformasi yang telah perjuangkan oleh aktivis kala itu. Mengembalikan kedaulatan yang terampas, memulihkan wibawa hukum yang terlecehkan dan juga menyembuhkan moral politik yang parah, bukanlah pekerjaan yang mudah. So, jangan sampai semangat tersebut kembali menjadi luka hanya demi melanggengkan kekuasaan sementara.Sekian (opini)


 

Related Posts

Post a Comment